Bagaimana cara bangkit dari sujud untuk berdiri ke rakaat berikutnya? Kita perhatikan bahasan Manhajus Salikin berikut ini.
# Fikih Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
Kitab Shalat
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,
ثُمَّ يَسْجُدُ اَلثَّانِيَةَ كَالْأُولَى.ثُمَّ يَنْهَضُ مُكَبِّرًا, عَلَى صُدُورِ قَدَمَيْهِ.وَيُصَلِّي اَلرَّكْعَةَ اَلثَّانِيَةَ كَالْأُولَى.ثُمَّ يَجْلِسُ لِلتَّشَهُّدِ اَلْأَوَّلِ.
“Kemudian sujud kedua seperti sujud pertama. Lalu bangkit dari sujud kedua sambil bertakbir dan bangkit dengan bertumpu pada kedua telapak kakinya. Dan mengerjakan rakaat kedua sama dengan rakaat pertama, kemudian duduk tasyahud awal.”
Sujud kedua dan bangkit ke rakaat kedua
Perintah untuk melakukan sujud kedua ini adalah berdasarkan berbagai hadits yang sahih dan juga adanya ijmak (kesepakatan para ulama). (Al-Majmu’, 3:290)
Adapun cara bangkit bangkit dari sujud menuju berdiri, para ulama ada beda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa disunnahkan mengangkat tangan dahulu sebelum lutut ketika bangkit dari sujud kecuali kalau memberatkan barulah bertumpu pada tangannya. Pendapat pertama ini dipilih oleh madzhab Hanafiyyah, Hambali, Daud Azh-Zhahiriy, pilihan Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin. Syaikh As-Sa’di dari pernyataan di atas lebih cenderung pada pendapat ini.
Dalil yang mendukung pendapat pertama adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَضُ فِي الصَّلاَةِ عَلَى صُدُوْرِ قَدَمَيْهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bangkit dalam shalat dengan bertumpu pada kedua kakinya.” (HR. Tirmidzi, no. 287. Di dalamnya ada perawi bernama Khalid bin Ilyas dan ia adalah seorang perawi yang dhaif menurut ahli hadits. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, 3:445, menyatakan bahwa hadits ini dhaif).
Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa disunnahkan berdiri bertumpu pada kedua tangan. Inilah pendapat dalam madzhab Imam Malik, Syafii, juga menjadi pendapat sekelompok salaf (seperti Ibnu ‘Umar, Makhul, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz), pendapat ini juga dipilih oleh Al-Albani.
Riwayat yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sifat Shalat Nabi, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bertumpu pada kedua tangan di tanah ketika bangkit ke rakaat kedua.”
Dalil lainnya adalah dalil yang dipakai untuk duduk istirahat.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketika bangkit ke rakaat kedua dilakukan bertumpu pada tangan, begitu pula ketika bangkit dari tasyahud awal. Hal ini dilakukan oleh orang yang kondisinya kuat maupun lemah, begitu pula bagi laki-laki maupun perempuan. Demikian pendapat dari Imam Syafi’i. Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah berdasarkan hadits dari Malik bin Al-Huwairits dan tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihinya. Jika tangan jadi tumpuan, maka bagian dalam telapak tangan dan jari jemarinya yang berada di lantai.” (Al-Majmu’, 3:292).
Dengan bertumpu pada tangan, maka itu lebih menunjukkan kekhusyukan, tawadhu’, menolong orang yang shalat agar tidak sampai terjatuh. Demikian pernyataan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’.
Baca Juga: Orang Berhadats Tidak Diterima Shalatnya
Apakah disunnahkan duduk istirahat ketika bangkit ke rakaat berikutnya?
Dalil tentang disyari’atkannya duduk istirahat ketika bangkit ke rakaat kedua adalah hadits dari Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid Al-Jarmi Al-Bashri, ia berkata, “Malik bin Al-Huwairits pernah mendatangi kami di masjid kami. Ia pun berkata, “Sesungguhnya aku ingin mengerjakan shalat sebagai contoh untuk kalian meskipun aku tidak ingin mengerjakan shalat. Aku akan mengerjakan shalat sebagaimana shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah aku lihat.” Ayub kemudian bertanya kepada Abu Qilabah, “Bagaimana Malik bin Al-Huwairits mengerjakan shalat?” Abu Qilabah menjawab,
مِثْلَ شَيْخِنَا هَذَا . قَالَ وَكَانَ شَيْخًا يَجْلِسُ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ قَبْلَ أَنْ يَنْهَضَ فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى
“Seperti shalat syaikh kami ini. Beliau duduk ketika mengangkat kepalanya setelah sujud sebelum beliau bangkit dari rakaat pertama.” (HR. Bukhari, no. 677).
Juga dalam riwayat lain disebutkan dari Malik bin Al-Huwairits,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى ، فَإِذَا كَانَ فِى وِتْرٍ مِنْ صَلاَتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَاعِدًا
Bahwasanya ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rakaat ganjil, maka ia tidaklah bangkit sampai duduk terlebih dahulu. (HR. Bukhari, no. 823).
Di sini para ulama memiliki silang pendapat apakah duduk istirahat disunnahkan bagi setiap orang ataukah tidak. Syaikh As-Sa’di dalam pernyataannya di atas dapat diambil kesimpulan bahwa beliau tidak menganjurkan duduk istirahat kecuali bila ada hajat.
Dalam madzhab Syafi’i sendiri terdapat beda pendapat karena pemahaman terhadap dalil yang berbeda.
Pendapat pertama, jika yang shalat dalam keadaan lemah karena sakit, sudah tua atau sebab lainnya, maka disunnahkan untuk melakukan duduk istirahat. Jika tidak demikian, maka tidak dituntunkan. Inilah pendapat dari Abu Ishaq Al-Maruzi.
Pendapat kedua, disunnahkan bagi setiap orang untuk melakukan duduk istirahat. Inilah pendapat dari Imam Al-Haramain dan Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali berkata bahwa ulama madzhab Syafi’i sepakat pada pendapat ini.
Pendapat yang terkuat dalam hal ini, duduk istirahat tetap disyari’atkan. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa hal itu disunnahkan.
Duduk istirahat adalah duduk yang ringan (bukan lama) ketika bangkit ke rakaat berikut, bukan bangkit dari tasyahud. (Lihat Al-Majmu’, 3: 291).
Cara duduk istirahat adalah duduk iftirasy atau seperti duduk saat duduk antara dua sujud. (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri, 1:209).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Duduk istirahat tidak ada pada sujud tilawah, tanpa ada khilaf di antara para ulama.” (Al-Majmu’, 3:292).
Imam Nawawi juga berkata, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika imam tidak melakukan duduk istirahat, sedangkan makmum melakukannya, itu dibolehkan karena duduknya hanyalah sesaat dan ketertinggalan yang ada cumalah sebentar.” (Al-Majmu’, 3:292).
Baca Juga: Suara Sandal Bilal dan Shalat Sunnah Wudhu
Referensi:
- Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
Disusun di perjalanan Jakarta – Jogja, 19 Muharram 1441 H (19 September 2019)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com